25 July 2007

CATATAN DARI SENAYAN... (18 JULI 2007)




Ketika tahu saya akan datang ke GBK untuk menonton pertandingan
Indonesia vs Korea, seorang rekan di kantor bilang "mau kecewa kok
bayar". Saya hanya tersenyum. Saya tahu akan sulit sekali kita akan
menang.

Ada yang bertanya: kenapa tetap ke stadion?

Jawab saya: Karena saya tahu mereka tetap berjuang dengan semua yang
mereka miliki. Mereka gigih menutupi kekurangan teknis dan fisik
dengan semangat membara dan jiwa patriotisme. Supporter terus
mendukung mereka dengan membahana, karena kami ?supporter Indonesia-
tak lagi melihat ada yang layak didukung dalam keseharian yang lain.

Tanya: Tidakkah olah raga yang lain begitu juga?

Jawab: Mungkin. Tapi kebetulan saya tak tahu, apakah ada yang bisa
mengumpulkan 88 ribu manusia Indonesia di dalam stadion dan 30 ribu
lainnya di luar stadion bernyanyi lagu Indonesia Raya dengan hikmat
dan haru. Mereka datang dari Lampung, Makassar, Solo, Surabaya,
Malang, Bandung dengan ikhlas. Antri berhari-hari demi menunjukkan
bahwa di Indonesia masih ada yang bisa diabanggakan.

Beberapa teman mencela timnas Indonesia dan mencoba menunjukkan bahwa
dukungan saya akan sia-sia.
Baiklah. Tapi bukankah memilih bersatu mendukung perjuangan adalah
lebih baik daripada terdiam dan mencela kesalahan orang lain?

Pertandingan kemarin adalah sebuah kombinasi antara harapan dan ironi.
Ada harapan untuk memperoleh kemenangan dan mengukir sejarah, tapi
harapan itu sendiri diam-diam sebenarnya tak bisa mutlak di hati kita.
Dalam pertandingan sepakbola supporter di stadion adalah orang yang
siap kecewa dan pemain siap untuk dicaci. Sepakbola adalah permainan,
kemenangan dan kekalahan adalah sesuatu yang melekat. Kami sadar akan
hal itu. Pada setiap pertandingan ada risiko kekalahan. Setiap
dukungan ada risiko kepedihan. Sebab ada yang tersingkir di sana .

Akhirnya, saya hanya sedih, tapi tak kecewa. Timnas Indonesia bukanlah
tim mega bintang seperti Brasil atau Italia. Tak akan mengejutkan bila
nanti kita kalah, atau kita melihat sesuatu yang tak beres di sana.
Setidaknya dalam kompetisi, PSSI adalah salah satu contoh yang sering
terjadi di Indonesia:
'mismanagement'.

Seandainya PSSI diisi para profesional sepakbola, bukan politisi yang
mencari suara, bukan pengusaha yang cuma cari nama, atau golongan tua
yang umumnya dahsyat dalam semangat tapi lembek dalam organisasi
kerja, hasilnya pasti akan lain.

Untunglah, masih ada supporter Indonesia yang "benar". Mereka
bernyanyi sepanjang pertandingan, memuji pemain meski kalah, karena
mereka menilai pemain dari perjuangan yang diberikan, bukan sekedar
hasil akhir.

Saya tak ingat kapan saya merasa bangga menyanyikan Indonesia Raya
dengan sungguh-sungguh. Tapi kemarin, paduan suara 88 ribu supporter
Indonesia membuat buku kuduk saya berdiri, kibaran bendera merah putih
membuat air mata saya mengalir pelan.

Air mata haru kembali memaksa keluar, ketika menit-menit akhir
pertandingan, dimulai oleh ribuan penonton dari belakang gawang Markus
Harrison menyanyikan lagu Indonesia Raya meski dengan suara parau,
kombinasi kelelahan dan kesedihan. Lagu tersebut memang mampu memompa
semangat pemain, tapi apa daya, tenaga yang benar-benar habis terkuras
dan kualitas teknik yang di bawah lawan membuat semangat dan
perjuangan mereka tak membawa hasil maksimal.

Sebagai supporter yang kalah, saya ingin menghibur
diri: ternyata ada kemenangan lain dalam Piala Asia kali ini. Yang
juga menang adalah sebuah rasa kebangsaan yang bernama 'Indonesia '.

Secara kasat mata, ternyata seluruh supporter datang dan bersatu tanpa
ada sentimen SARA apapun. Bersatu, bernyanyi, dan berteriak membahana
Indonesia!
Indonesia! Indonesia! Tak ada pekik kesukuan, etnis, atau simbol agama
apapun. Di sebelah saya berkulit terang, bermata sipit, gadis-gadis
ABG cantik keturunan Tionghoa dengan bangga memakai kaus bertulis
"Indonesia " besar di dadanya, sang pria dengan bangga mengalungkan
bendera merah putih di lehernya, menjadi bak Superman. Di sektor
sebelah saya bule-bule berkaus merah putih, dengan jelas teriak-teriak
dan ikut bernyanyi, "Yo ayo, Ayo Indonesia... Kuingin, Engkau Harus
Menang...."

Tak ada anarki, semua bernyanyi, bahkan ketika kekalahan terjadi. Lagu
wajib "Yo ayo, Ayo Indonesia... Kuingin, Engkau Harus Menang.... "
masih membahana meski dengan kepala tertunduk dan wajah sedih. Kami
pulang dengan langkah pelan.

Maka haruskah saya terus merasa sedih? Saya pandangi kaus putih
bertuliskan Indonesia di dada saya.
Tiba-tiba saya tergerak untuk mencium lambang Garuda Indonesia di
sebelah kiri, "Karena Gue Cinta Indonesia"....


"Catatan dari seorang teman"

1 Comments:

At 8:51 PM, Anonymous Anonymous said...

mas,
tulisan ini nyontek blog lain ya? yang punya tulisan protes lho. Coba baca:
http://n0vri.wordpress.com/2007/08/14/dicontek/

Jangan lupa minta izin dong...

 

Post a Comment

<< Home